22 Juli 2011

KEMBALIKAN INDONESIA


Menuju Pemerintahan yang Kuat, Bersih dan Efektif, Kebijakan represif negara vis a vis rakyat sudah ketinggalan zaman. Dengan globalisasi, gerak negara jadi terbatas, bahkan sangat terbatas. Kendati demikian tetap harus dicatat bahwa stabilitas nasional adalah hal yang niscaya bagi suatu negara yang ingin membangun. Ini karena tujuan paling esensial dari stabilitas nasional itu sendiri adalah terciptanya rasa aman di tengah masyarakat.
Tanpa stabilitas dalam negeri, mustahil sebuah program pembangunan nasional dibangun. Karena itulah, dalam konteks stabilitas nasional ini, setiap komponen masyarakat harus mendukungnya sepenuh hati, tanpa harus menaruh stigma terlebih dulu terhadap kebijakan stabilitas nasional tadi, misalnya dengan terburu-buru menganggap kebijakan menegakkan stabilitas nasional identik dengan menggalakkan sikap-sikap represif negara visa vis rakyat.
Dalam membangun pemerintahan yang kuat, bersif dan efektif, kita tidak boleh setengah-setengah memberantas korupsi yang membudaya di tengah masyarakat. Korupsi yang mengakar kuat di tengah masyarakat negeri ini, ditamban budaya kolusi di kalangan birokrat, dalam level tertentu bahkan sudah menjadi faktor kunci bagi lahirnya instabilitas nasional yang mengancam rasa aman masyarakat.
Memberantas Korupsi
Prasyarakat menuju terciptanya pemerintahan yang kuat, bersih dan efektif adalah terciptanya stabilitas nasional yang merata di seluruh negeri. Menciptakan stabilitas nasional tidak identik dengan melakukan represi terhadap rakyat. Di era 1960-an sampai 1970-an, bahkan juga 1980-an, sejumlah negara tertentu termasuk Indonesia dengan ideologi masing-masing memang punya kebijakan menciptakan stabilitas nasional ini dengan melakukan represi terhadap rakyat. Namun sejak 1990an, ketika isu globalisasi sudah merupakan wacana keseharian yang tidak saja terbatas di ruang-ruang sekolah atau perguruan tinggi, maka penting disepakati kembali apa yang dimaksud dengan stabilitas nasional itu. Dalam definisi yang sederhana, menciptakan stabilitas nasional berarti membangun pemerintahan yang kuat, bersih dan efektif, bukan pemerintahan yang represif dan diktatorial.
Agar agenda pemberantasan korupsi ini efektif, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah membentuk badan antikorupsi yang memiliki kewenangan polisionil. Memberantas korupsi yang akut di Indonesia tidak cukup hanya dengan membentuk sebuah komisi antikorupsi, yang bahkan suara dan hasil investigasinya tidak didengar orang lantaran tidak memiliki kewenangan polisionil tadi. Lihatlah komisi-komisi yang dibentuk pemerintah saat ini. Semuanya nyaris tak ubahnya macan ompong yang suaranya disepelekan, apalagi oleh para koruptor yang merasa punya dukungan kuat orang-orang yang duduk di pemerintahan. Kewenangan polisional lembaga antikorupsi tersebut perlu didukung dengan program komputerisasi di departemen-departemen strategis, untuk menjamin transparansi dan memantau kebocoran keuangan negara seperti yang selama ini terjadi.
Meningkatkan Partisipasi Publik
Di era otonomi daerah seperti yang kita jalankan saat ini, meningkatkan partisipasi publik c{alam meiakukan pembangunan nasional adalah hal yang juga niscaya. Hanya dengan mengikutsertak,mengantisipasi publik sebanyak-banyaknyalah sebuah upaya mewujudkan stabilitas nasional dengan paradigma seperti yang saya jabarkan di ar;w dapat tercapai. Kebijakan pemerintahan yang top-down dan sentralisasi sudah ketinggalan zaman. Bahkan negara maju seperti Amerika Serik:n atau negara-negara Eropa iainnya semisal Inggris dan Jerman lehilv mengedepankan kebijakan (bottom-up yang melibatkan sebany;n. mungkin partisipasi publik itu ketimbang kebijakan top-down.
‘sebanyak keuntungan bisa kita peroleh dari pendekatan bottom up ini. Pertama, masyarakat jadi memiliki rasa-punya (sense of belonging) yang lebih tinggi terhadap pembangunan nasional yang dilakuk:w pemerintah. Ini karena masyarakat merasa kebijakan pembangun.m yang ada dirumuskan oleh mereka, dijalankan oleh mereka, ~lan bail:buruk hasilnya b~rpulang pada mereka. Kedua, dengan ikut merumuskan kebijakan, berarti tlengan sendirinya masyarakat turut mem,wtau proses dan jalannya pembangunan nasional tadi. Ini berarti mereka akan menjadi watchdog abadi terhadap proses pembangunan, ~l;m icarena itu pemerintah sebagai pelaksana langsung pembangunan tidalc hisa lagi bisa main-main – apalagi melakukan pesta besar korupsi clav kolusi — karena mereka diawasi langsung oleh rakyat. Inilah bentul; langsung dari teori transparansi dan akuntabilitas publik yang selama ini banyak didengung-dengungkan orang.
Tentu saja, melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik tidak berarti seluruh masyarakat secara liar terlibat dalam proses merumuskan dan menjalankan pembangunan nasional tacli. Eksistensi masyarakat harus direpresentasikan oleh badan-badan negara yang bersifat formal semacam DPR/MPR RI clan dan org.misasi-organsinasi kemasyarakatan di luar itu semacam ormas dan beragam LSM.
Dalam buku yang dijadikan rujukan hanyak orang, Decentralization and Developrnent: Policy Implementation in Developing Countries (1983), Shabbir Cheema mencatat tujuh peran bisa dimainkan LSM dan organisasi swadaya masyarakat lainnya itu dalam proses pembangunan nasional, baik di tingkat pusat maupun daerah:
1) Menjadi alat yang terus-menerus menggelorakan kesadaran sosial dan politik di tengah masyarakat;
2) Kendaraan yang efektif untuk memobilisasi partisipasi publik;
3) Perancang kebijakan lokal karena mereka tumbuh dari masyarakat sekitar dan karenanya tahu kebutuhan Iokal;
4) Lemlbaga yang efektif untuk menyediakan pelayanan publik;
5) Mampu memohilisasi sumberdaya alam lokal;
6) Mampu mengekspresikan kebutuhan masyarakat lokal; dan
7) Efektif memberikan pengaruh pada kebijakan dan aparat lokal.
Mereformasi Birokrasi
Untuk mendukung pemerintahan yang efektif kita perlu mereformasi birokrasi:
1. Indepensi birokrasi terhadap pejabat politik. Loyalitas birokrasi terhadap eksekutif hanya sebatas tugas-tugas profesional dari birokrasi itu sendiri. Birokrasi dengan alasan apapun tidak tlapat dimanfaatkan oleh pejabat politik untuk melakukan rogram-program politik pribadinya.
2. Profesionalitas birokrat dalam mengeksekusi program-pro gram pemerintahan dalam semua tingkatan.
3. Menciptakan aparat birokrasi yang bersih dan memiliki kemampuan untuk tnelakukan tugas-tugas negara dan memegang teguh komitmen terhadap kesejahteraan rakyat. 4. Mclakukan restrukturisasi jajaran birokrasi untuk memba ngun pemerintahan yang efektif dan efisien.
5. Menaikan gaji pegawai negeri secara signifikan untuk mencegah perilaku koruptif di kalangan birokrasi karena rendahnya pendapatan.
Membangun Sistem Hukum Nasional
Membangun sistem hukum nasional dalam rangka menegakan supremasi hukum untuk memberikan rasa aman, ketertiban umum dao rasa terlindungi bagi setiap warga negara.
1. Menciptakan sistem hukum dan produk hukum yany, bersifat memberi pangayoman dan landasan hukum yang pasti pada setiap kegiatan yang berlangsung di masyarakat. 2. Melakukan penertiban terhadap lembaga peradilan merupakan prioritas utama karena aparat penegak hukui~~ seringkali menjadi hambatan bagi penegakan hukum.
3. Peningkatan kesadaran dan kepatuhan hukum guna menciptakan ketertiban sosial dan politik.
4. Pembaharuan sistem hukum nasional sebagai pengganti produk hukum kolonial dan berkomitmen melanjutkan reformasi hukum yang mencakup baik substansi hukum aparat penegak hukum dan budaya hukum.
Menuju Kemandirian Ekonomi Nasional
Kita juga harus membangun perekonomian nasional kita secara mandiri, profesional, dan tidak rapuh dari intervensi dan konspirasi internasional. Krisis ekonomi 1997 lagi-lagi memberi pelajaran berhar ga buat kita. Krisis itu mengingatkan kita betapa tidak enaknya dijajah secara ekonomi oleh faktor-faktor eksternal, yang direpresentasikan oleh campur tangan yang kuat dari lembaga internasional semacam IMF atau lembaga-lembaga donor lainnya.
Untuk itu, kita perlu menggagas dua agenda besar untuk kita kerjakan bersama untuk membangun kemandirian ekonomi nasional itu. Pertama, menjaga stabilitas mata uang kita dan mengendalikan devisa negara; kedua, membangun dan memperkuat swasembada pangan dan menciptakan sebanyak mungkin lapangan kerja.
Menjaga Mata Uang, Mengendalikan Devisa
Lagi-lagi kita harus mencontoh Malaysia di era Mahathir, juga Malaysia di era sekarang ini, yang berhasil menjaga stabilitas mata uang dan mengendalikan devisa negara mereka saat krisis melanda, hingga negara itu dengan gampang keluar dari krisis. Indonesia perlu mencontoh apa yang dilakukan Malaysia, capital control, suatu strategi yang sejalan dengan pemikiran Kwik Kian Gie yakni segera menerapkan fixed rate system dan membatasi perdagan gan rupiah. Hal ini pun sesuai dengan UUD 1945 pasal 23B, “Macam dan harga harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang.”
Kunci dari keberhasilan ini adalah nasionalisme, patriotisme, juga pemerintahan yang kuat. Tanpa ketiga hal itu, tidak gampang konglomerat dan enterprener yang memegang mata uang ringgit di luar negeri mengembalikan pundi-pundi ringgit mereka ke Malaysia. Inilah yang sebaliknya terjadi pada konglomerat dan wiraswastawan Indonesia. Dengan dalih keselamatan dan bermotifkan kepentingan perut sendiri, mereka cenderung menaruh pundi-pundi rupiah dan juga dolar mereka di bank-bank luar negeri, terutama Singapura. Ironisnya, tidak ada kebijakan pemerintah kita yang mengharuskan devisa negara dari meningkatnya ekspor dikembalikan ke dalam negeri. Akibatnya, banyak pengusaha kita lebih senang memarkir uang mereka di luar negeri, sambil terus mengais-ngais rejeki dalam pasar nasional.
Belajar dari kenyataan di atas, sudah saatnya kini kita berpaling pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan jaringan koperasi yang ada sebagai basis perekonomian kita di masa depan. Sektor inilah yank~ di masa krisis dulu justru menjadi penyelamat perekonomian dalam negeri. Mereka iustru membuktikan diri tangguh di masa krisis sekaligus menunjukkan nasionalisme yang tinggi dengan tidak melakukav capital flight ke mana pun. Hidup mati mereka adalah di tanah air tcrcinta ini. Di tanah ini mereka tumbuli, hidup, berkembang, dan mewariskan apa saja yang mereka capai kepada anak cucu mereka yan; memang hidup dan mati di negeri tercinta ini.
Kita perlu menaruh perhatian lebih – terutama secara politis sebagaimana para elit politik Malaysia melakukannya sejak awal 1970an kepada usaha kecil dan menengah mereka — kepada sektor yang melibatkan banyak orang ini. Dengan logika terbalik, adalah berdosa juga jika kita meneruskan pola larna sistem perekonomian kita, yang cuma memanjakan segelintir konglomerat untuk mengendalikan perekonomian 220 juta lebih anak manusia Indonesia. Penting dicatat, pasca krisis ini, justru para konglomerat itulah yang punya utang besar dan dibebankan kepada rakyat Indonesia.
Namun demikian, paradigma ekonomi baru ini tidak berarri menghalalka~a kita merebut paksa hak-hak properti segelintir orang yang kadung dimanjakan secara ekonomi di masa Orde Baru di atas. Harus dicamkan bahwa mereka adalah juga saudara-saudara kita sebangsa dao setanah air. Hanya saja, jiwa patriotisme mereka perlu terus digelorakan agar mereka lebih peduli lagi pada nasib masyarakat banyak dan karcna itu malu hati jika nanti melakukan capital flight. Nasionalisme mereka juga perlu dipompakan lagi, agar kecintaan mereka pada tanah air ini tidak setengah-setengah dan karena itu siap mati demi membangun perekonomian bangsa.
Ekonomi selama ini digenggam oleh kalangan nonpribumi, itu benar, Tapi fakta bahwa banyak juga kalangan nonpribumi yang punya komitmen kebangsaan dan nasionalisme tinggi terhadap negara juga fakta yang tidak bisa dibantah. Kwik Kian Gie dan Lin Che Wei acialah beberapa contoh warga Indonesia keturunan Cina yang sejumlah pernyataan dan tindakannya menunjukkan nasionalisme yang tinggi pada negeri ini.
Di sisi lain, kita juga melihat banyak kalangan yang disebut pribumi — sebagian mungkin tennasuk dalam kategori segelintir orang yang menguasai porsi terbesar distribusi ekonomi di Indonesia tadi ternyata juga tidak cukup punya kepedulian pada nasib bangsa dan negara ketika krisis ekonomi melanda kita tahun 1997 lalu. Atau mereka yang memanfaatkan kekuasaan dan longgarnya penegakan hukum krisis berlangsung untuk mengeruk sebanyak yang nota bene milik rakyat, baik untuk golongan, kelompok, atau partai. Orang-orang semacam ini juga dikategorikan sebagai tidak nasionalis, tidak patriotis, kendatipun ka secara sosiologis kepalang dianggap dan disebut pribumi.
Dikotomi orang kaya pribumi dan nonpribumi menjadi tidak relevan dalam melakukan perbaikan ekonomi lndonesia di masa depan. Pokoknya, sekali mereka menunjukan patriotisme dan nasionalisme yang tinggi terhadap bangsa dan negara, kita harus merangkulnya menjadi bagian tak terpisahkan dalam rnembangun Indonesia tercinta ini. Sementara terhadap orang-orang yang terus mengangkangi fondasi keutuhan negara bangsa kita, entah dengan cara menyebalkan melakukan mereka capital flight atau melakukan korupsi atas nama kekuasaan, layak dihukum berat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar