22 Juli 2011

KEMBALIKAN INDONESIA


Menuju Pemerintahan yang Kuat, Bersih dan Efektif, Kebijakan represif negara vis a vis rakyat sudah ketinggalan zaman. Dengan globalisasi, gerak negara jadi terbatas, bahkan sangat terbatas. Kendati demikian tetap harus dicatat bahwa stabilitas nasional adalah hal yang niscaya bagi suatu negara yang ingin membangun. Ini karena tujuan paling esensial dari stabilitas nasional itu sendiri adalah terciptanya rasa aman di tengah masyarakat.
Tanpa stabilitas dalam negeri, mustahil sebuah program pembangunan nasional dibangun. Karena itulah, dalam konteks stabilitas nasional ini, setiap komponen masyarakat harus mendukungnya sepenuh hati, tanpa harus menaruh stigma terlebih dulu terhadap kebijakan stabilitas nasional tadi, misalnya dengan terburu-buru menganggap kebijakan menegakkan stabilitas nasional identik dengan menggalakkan sikap-sikap represif negara visa vis rakyat.
Dalam membangun pemerintahan yang kuat, bersif dan efektif, kita tidak boleh setengah-setengah memberantas korupsi yang membudaya di tengah masyarakat. Korupsi yang mengakar kuat di tengah masyarakat negeri ini, ditamban budaya kolusi di kalangan birokrat, dalam level tertentu bahkan sudah menjadi faktor kunci bagi lahirnya instabilitas nasional yang mengancam rasa aman masyarakat.
Memberantas Korupsi
Prasyarakat menuju terciptanya pemerintahan yang kuat, bersih dan efektif adalah terciptanya stabilitas nasional yang merata di seluruh negeri. Menciptakan stabilitas nasional tidak identik dengan melakukan represi terhadap rakyat. Di era 1960-an sampai 1970-an, bahkan juga 1980-an, sejumlah negara tertentu termasuk Indonesia dengan ideologi masing-masing memang punya kebijakan menciptakan stabilitas nasional ini dengan melakukan represi terhadap rakyat. Namun sejak 1990an, ketika isu globalisasi sudah merupakan wacana keseharian yang tidak saja terbatas di ruang-ruang sekolah atau perguruan tinggi, maka penting disepakati kembali apa yang dimaksud dengan stabilitas nasional itu. Dalam definisi yang sederhana, menciptakan stabilitas nasional berarti membangun pemerintahan yang kuat, bersih dan efektif, bukan pemerintahan yang represif dan diktatorial.
Agar agenda pemberantasan korupsi ini efektif, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah membentuk badan antikorupsi yang memiliki kewenangan polisionil. Memberantas korupsi yang akut di Indonesia tidak cukup hanya dengan membentuk sebuah komisi antikorupsi, yang bahkan suara dan hasil investigasinya tidak didengar orang lantaran tidak memiliki kewenangan polisionil tadi. Lihatlah komisi-komisi yang dibentuk pemerintah saat ini. Semuanya nyaris tak ubahnya macan ompong yang suaranya disepelekan, apalagi oleh para koruptor yang merasa punya dukungan kuat orang-orang yang duduk di pemerintahan. Kewenangan polisional lembaga antikorupsi tersebut perlu didukung dengan program komputerisasi di departemen-departemen strategis, untuk menjamin transparansi dan memantau kebocoran keuangan negara seperti yang selama ini terjadi.
Meningkatkan Partisipasi Publik
Di era otonomi daerah seperti yang kita jalankan saat ini, meningkatkan partisipasi publik c{alam meiakukan pembangunan nasional adalah hal yang juga niscaya. Hanya dengan mengikutsertak,mengantisipasi publik sebanyak-banyaknyalah sebuah upaya mewujudkan stabilitas nasional dengan paradigma seperti yang saya jabarkan di ar;w dapat tercapai. Kebijakan pemerintahan yang top-down dan sentralisasi sudah ketinggalan zaman. Bahkan negara maju seperti Amerika Serik:n atau negara-negara Eropa iainnya semisal Inggris dan Jerman lehilv mengedepankan kebijakan (bottom-up yang melibatkan sebany;n. mungkin partisipasi publik itu ketimbang kebijakan top-down.
‘sebanyak keuntungan bisa kita peroleh dari pendekatan bottom up ini. Pertama, masyarakat jadi memiliki rasa-punya (sense of belonging) yang lebih tinggi terhadap pembangunan nasional yang dilakuk:w pemerintah. Ini karena masyarakat merasa kebijakan pembangun.m yang ada dirumuskan oleh mereka, dijalankan oleh mereka, ~lan bail:buruk hasilnya b~rpulang pada mereka. Kedua, dengan ikut merumuskan kebijakan, berarti tlengan sendirinya masyarakat turut mem,wtau proses dan jalannya pembangunan nasional tadi. Ini berarti mereka akan menjadi watchdog abadi terhadap proses pembangunan, ~l;m icarena itu pemerintah sebagai pelaksana langsung pembangunan tidalc hisa lagi bisa main-main – apalagi melakukan pesta besar korupsi clav kolusi — karena mereka diawasi langsung oleh rakyat. Inilah bentul; langsung dari teori transparansi dan akuntabilitas publik yang selama ini banyak didengung-dengungkan orang.
Tentu saja, melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik tidak berarti seluruh masyarakat secara liar terlibat dalam proses merumuskan dan menjalankan pembangunan nasional tacli. Eksistensi masyarakat harus direpresentasikan oleh badan-badan negara yang bersifat formal semacam DPR/MPR RI clan dan org.misasi-organsinasi kemasyarakatan di luar itu semacam ormas dan beragam LSM.
Dalam buku yang dijadikan rujukan hanyak orang, Decentralization and Developrnent: Policy Implementation in Developing Countries (1983), Shabbir Cheema mencatat tujuh peran bisa dimainkan LSM dan organisasi swadaya masyarakat lainnya itu dalam proses pembangunan nasional, baik di tingkat pusat maupun daerah:
1) Menjadi alat yang terus-menerus menggelorakan kesadaran sosial dan politik di tengah masyarakat;
2) Kendaraan yang efektif untuk memobilisasi partisipasi publik;
3) Perancang kebijakan lokal karena mereka tumbuh dari masyarakat sekitar dan karenanya tahu kebutuhan Iokal;
4) Lemlbaga yang efektif untuk menyediakan pelayanan publik;
5) Mampu memohilisasi sumberdaya alam lokal;
6) Mampu mengekspresikan kebutuhan masyarakat lokal; dan
7) Efektif memberikan pengaruh pada kebijakan dan aparat lokal.
Mereformasi Birokrasi
Untuk mendukung pemerintahan yang efektif kita perlu mereformasi birokrasi:
1. Indepensi birokrasi terhadap pejabat politik. Loyalitas birokrasi terhadap eksekutif hanya sebatas tugas-tugas profesional dari birokrasi itu sendiri. Birokrasi dengan alasan apapun tidak tlapat dimanfaatkan oleh pejabat politik untuk melakukan rogram-program politik pribadinya.
2. Profesionalitas birokrat dalam mengeksekusi program-pro gram pemerintahan dalam semua tingkatan.
3. Menciptakan aparat birokrasi yang bersih dan memiliki kemampuan untuk tnelakukan tugas-tugas negara dan memegang teguh komitmen terhadap kesejahteraan rakyat. 4. Mclakukan restrukturisasi jajaran birokrasi untuk memba ngun pemerintahan yang efektif dan efisien.
5. Menaikan gaji pegawai negeri secara signifikan untuk mencegah perilaku koruptif di kalangan birokrasi karena rendahnya pendapatan.
Membangun Sistem Hukum Nasional
Membangun sistem hukum nasional dalam rangka menegakan supremasi hukum untuk memberikan rasa aman, ketertiban umum dao rasa terlindungi bagi setiap warga negara.
1. Menciptakan sistem hukum dan produk hukum yany, bersifat memberi pangayoman dan landasan hukum yang pasti pada setiap kegiatan yang berlangsung di masyarakat. 2. Melakukan penertiban terhadap lembaga peradilan merupakan prioritas utama karena aparat penegak hukui~~ seringkali menjadi hambatan bagi penegakan hukum.
3. Peningkatan kesadaran dan kepatuhan hukum guna menciptakan ketertiban sosial dan politik.
4. Pembaharuan sistem hukum nasional sebagai pengganti produk hukum kolonial dan berkomitmen melanjutkan reformasi hukum yang mencakup baik substansi hukum aparat penegak hukum dan budaya hukum.
Menuju Kemandirian Ekonomi Nasional
Kita juga harus membangun perekonomian nasional kita secara mandiri, profesional, dan tidak rapuh dari intervensi dan konspirasi internasional. Krisis ekonomi 1997 lagi-lagi memberi pelajaran berhar ga buat kita. Krisis itu mengingatkan kita betapa tidak enaknya dijajah secara ekonomi oleh faktor-faktor eksternal, yang direpresentasikan oleh campur tangan yang kuat dari lembaga internasional semacam IMF atau lembaga-lembaga donor lainnya.
Untuk itu, kita perlu menggagas dua agenda besar untuk kita kerjakan bersama untuk membangun kemandirian ekonomi nasional itu. Pertama, menjaga stabilitas mata uang kita dan mengendalikan devisa negara; kedua, membangun dan memperkuat swasembada pangan dan menciptakan sebanyak mungkin lapangan kerja.
Menjaga Mata Uang, Mengendalikan Devisa
Lagi-lagi kita harus mencontoh Malaysia di era Mahathir, juga Malaysia di era sekarang ini, yang berhasil menjaga stabilitas mata uang dan mengendalikan devisa negara mereka saat krisis melanda, hingga negara itu dengan gampang keluar dari krisis. Indonesia perlu mencontoh apa yang dilakukan Malaysia, capital control, suatu strategi yang sejalan dengan pemikiran Kwik Kian Gie yakni segera menerapkan fixed rate system dan membatasi perdagan gan rupiah. Hal ini pun sesuai dengan UUD 1945 pasal 23B, “Macam dan harga harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang.”
Kunci dari keberhasilan ini adalah nasionalisme, patriotisme, juga pemerintahan yang kuat. Tanpa ketiga hal itu, tidak gampang konglomerat dan enterprener yang memegang mata uang ringgit di luar negeri mengembalikan pundi-pundi ringgit mereka ke Malaysia. Inilah yang sebaliknya terjadi pada konglomerat dan wiraswastawan Indonesia. Dengan dalih keselamatan dan bermotifkan kepentingan perut sendiri, mereka cenderung menaruh pundi-pundi rupiah dan juga dolar mereka di bank-bank luar negeri, terutama Singapura. Ironisnya, tidak ada kebijakan pemerintah kita yang mengharuskan devisa negara dari meningkatnya ekspor dikembalikan ke dalam negeri. Akibatnya, banyak pengusaha kita lebih senang memarkir uang mereka di luar negeri, sambil terus mengais-ngais rejeki dalam pasar nasional.
Belajar dari kenyataan di atas, sudah saatnya kini kita berpaling pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan jaringan koperasi yang ada sebagai basis perekonomian kita di masa depan. Sektor inilah yank~ di masa krisis dulu justru menjadi penyelamat perekonomian dalam negeri. Mereka iustru membuktikan diri tangguh di masa krisis sekaligus menunjukkan nasionalisme yang tinggi dengan tidak melakukav capital flight ke mana pun. Hidup mati mereka adalah di tanah air tcrcinta ini. Di tanah ini mereka tumbuli, hidup, berkembang, dan mewariskan apa saja yang mereka capai kepada anak cucu mereka yan; memang hidup dan mati di negeri tercinta ini.
Kita perlu menaruh perhatian lebih – terutama secara politis sebagaimana para elit politik Malaysia melakukannya sejak awal 1970an kepada usaha kecil dan menengah mereka — kepada sektor yang melibatkan banyak orang ini. Dengan logika terbalik, adalah berdosa juga jika kita meneruskan pola larna sistem perekonomian kita, yang cuma memanjakan segelintir konglomerat untuk mengendalikan perekonomian 220 juta lebih anak manusia Indonesia. Penting dicatat, pasca krisis ini, justru para konglomerat itulah yang punya utang besar dan dibebankan kepada rakyat Indonesia.
Namun demikian, paradigma ekonomi baru ini tidak berarri menghalalka~a kita merebut paksa hak-hak properti segelintir orang yang kadung dimanjakan secara ekonomi di masa Orde Baru di atas. Harus dicamkan bahwa mereka adalah juga saudara-saudara kita sebangsa dao setanah air. Hanya saja, jiwa patriotisme mereka perlu terus digelorakan agar mereka lebih peduli lagi pada nasib masyarakat banyak dan karcna itu malu hati jika nanti melakukan capital flight. Nasionalisme mereka juga perlu dipompakan lagi, agar kecintaan mereka pada tanah air ini tidak setengah-setengah dan karena itu siap mati demi membangun perekonomian bangsa.
Ekonomi selama ini digenggam oleh kalangan nonpribumi, itu benar, Tapi fakta bahwa banyak juga kalangan nonpribumi yang punya komitmen kebangsaan dan nasionalisme tinggi terhadap negara juga fakta yang tidak bisa dibantah. Kwik Kian Gie dan Lin Che Wei acialah beberapa contoh warga Indonesia keturunan Cina yang sejumlah pernyataan dan tindakannya menunjukkan nasionalisme yang tinggi pada negeri ini.
Di sisi lain, kita juga melihat banyak kalangan yang disebut pribumi — sebagian mungkin tennasuk dalam kategori segelintir orang yang menguasai porsi terbesar distribusi ekonomi di Indonesia tadi ternyata juga tidak cukup punya kepedulian pada nasib bangsa dan negara ketika krisis ekonomi melanda kita tahun 1997 lalu. Atau mereka yang memanfaatkan kekuasaan dan longgarnya penegakan hukum krisis berlangsung untuk mengeruk sebanyak yang nota bene milik rakyat, baik untuk golongan, kelompok, atau partai. Orang-orang semacam ini juga dikategorikan sebagai tidak nasionalis, tidak patriotis, kendatipun ka secara sosiologis kepalang dianggap dan disebut pribumi.
Dikotomi orang kaya pribumi dan nonpribumi menjadi tidak relevan dalam melakukan perbaikan ekonomi lndonesia di masa depan. Pokoknya, sekali mereka menunjukan patriotisme dan nasionalisme yang tinggi terhadap bangsa dan negara, kita harus merangkulnya menjadi bagian tak terpisahkan dalam rnembangun Indonesia tercinta ini. Sementara terhadap orang-orang yang terus mengangkangi fondasi keutuhan negara bangsa kita, entah dengan cara menyebalkan melakukan mereka capital flight atau melakukan korupsi atas nama kekuasaan, layak dihukum berat.

02 Juli 2011

Kembali ke budaya Siri' na Pacce

Dalam adat  orang makassar kalimat Siri'na pacce senantiasa melekat dalam diri setiap individu.  Budaya ini merupakan warisan nenek moyang orang makassar yang sudah turun temurun sampai pada generasi sekarang maupun generasi berikutnya. Seiring dengan berkembangya peradaban manusia orang makassar, budaya ini seolah hanya tinggal nama saja bahkan orang - orang tidak peduli lagi dengan budaya tersebut padahal ini merupakan nilai moral yang di ajarkan nenek moyang kita.
ironisnya di jaman sekarang budaya siri' na pacce banyak di salah pahami sehingga melahirkan manusia - manusia pa'bambangan na tolo. inilah kenyataannya, namun saya berusaha untuk mencoba menjelaskan kembali mengenai siri' na pacce ini dalam konteks pemahaman dalam kehidupan sehari -hari.
Dari segi definisinya Siri' artinya Rasa Malu. Sehingga dapat jelaskan bahwa siri' itu merupakan rasa malu yang keluar dari diri seseorang ketika ia tidak bisa memberi manfaat buat orang banyak. Menurut pemahaman saya hanya orang - orang yang bisa memberikan manfaat buat orang lain itu yang punya siri'. Klo kita tidak bisa menjadi orang yang bermanfaat berarti kita tidak punya siri' atau rasa malu. Oleh karena itu orang tua saya sering berpesan begini bonei kalennu siri' mannamamo sikedde asala nia' yang artinya tanamkan dalam dirimu rasa malu itu walaupun hanya sedikit. Maksudnya bermanfaatlah untuk dirimu sendiri agar hidupmu ini bisa bermakna. Budaya siri' ini kalau dalam budaya jepang di sebut Harakiri dimana orang - orang jepang akan menusukkan dirinya pedang ke dalam perutnya ketika ia tidak bisa berbuat untuk orang banyak. 
Definisi Pacce artinya pedih, sakit hati, rasa ingin memiliki. Sehingga pacce dapat di definisikan sebagai sifat empati terhadap diri sendiri maupun orang lain. Sifat pacce ini memiliki 3 nilai dasar yaitu:
  1. Sipakatau artinya sifat salaing menegur, tolong menolong, memberi dalam hal kebaikan.
  2. Sipakainga artinya saling mengigatkan, saling menasehati  antara satu dengan yang lain.
  3. Sipakalebbi artinya mengormati dan menghargai seseorang.
Inilah budaya yang harus kita jaga sebagai anak makassar, agar kelak kehidupan kita senantiasa bermanfaat, bermakna dan mendapat berkah dari Allah SWT

01 Juli 2011

Kaizen sebagai falsafah hidup manajemen


1. Kaizen
1.1. Definisi Kaizen
         Definisi dari kaizen ada bermacam-macam, antara lain sebagai berikut:
v  Blocher, Chen, dan Lin (1999: 13) menyebutkan definisi kaizen sebagai:
Continuous Improvement (the Japanese word is kaizen) is a management technique in which managers and workers commit to a program program of continuous improvement in quality and other critical success factors.

v  Imai (1996: 4) menjelaskan bahwa kaizen berarti penyempurnaan. Disamping itu, kaizen berarti penyempurnaan berkesinambungan yang melibatkan setiap orang dalam lingkungan organisasi. Filsafat kaizen menganggap bahwa cara hidup kita - baik cara kerja, kehidupan sosial, maupun kehidupan rumah tangga - perlu disempurnakan setiap saat.
v  Barnes (1998 : 27) menjelaskan bahwa kata kaizen merupakan kombinasi karakter huruf Jepang Kai yang berarti “perubahan” dengan Zen yang berarti “baik”, sehingga kaizen kalau diterjemahkan berarti “perbaikan”. Di Barat kata kaizen sebagai konsep manajemen berarti “perbaikan yang terus-menerus”.
         Dari berbagai definisi di atas, dapat diketahui bahwa kaizen merupakan suatu teknik manajemen yang menekankan pada perbaikan kualitas secara berkesinambungan yang melibatkan semua pihak dengan biaya rendah. Filsafat kaizen berpandangan bahwa cara hidup kita – apakah itu kehidupan sosial maupun kehidupan rumah tangga – hendaknya berfokus pada upaya perbaikan secara terus-menerus.
         Kaizen berbeda dengan rekayasa ulang (reengineering) dan penemuan ulang (reinventing), perubahan menurut konsep kaizen dilakukan tidak secara drastis, tetapi tahap demi tahap pada hal-hal yang bersifat kecil, dengan biaya rendah – karena tidak membutuhkan teknologi canggih maupun prosedur rumit dan peralatan mahal – tetapi memiliki dampak yang luar biasa dalam meningkatkan produktivitas, kualitas, maupun tingkat keuntungan.
1.2. Konsep Utama Kaizen
         Konsep utama kaizen yang harus dipahami dan diterapkan mencakup enam hal, yaitu: (1) Kaizen dan manajemen, (2) Proses versus hasil, (3) Siklus PDCA/SDCA, (4) Mengutamakan kualitas, (5) Berbicara dengan data, dan (6) Proses berikut adalah konsumen.
1.2.1. Kaizen dan Manajemen
      Dalam konteks kaizen, manajemen memiliki dua fungsi utama: pemeliharaan dan perbaikan. Pemeliharaan berkaitan untuk memelihara teknologi, sistem manajerial, standar operasional yang ada, dan menjaga standar tersebut melalui pelatihan dan disiplin. Perbaikan dapat dibedakan sebagai kaizen dan inovasi. Kaizen bersifat perbaikan kecil yang berlangsung oleh upaya berkesinambungan. Kaizen menekankan upaya manusia, moral, komunikasi, pelatihan, kerja sama, pemberdayaan dan disiplin diri, yang merupakan pendekatan peningkatan berdasarkan akal sehat, berbiaya rendah. Sedangkan inovasi merupakan perbaikan drastis sebagai hasil dari investasi sumber daya berjumlah besar dalam teknologi dan peralatan (di saat dana menjadi faktor kunci, inovasi memang mahal).
1.2.2. Proses Versus Hasil
      Kaizen menekankan pola pikir berorientasi proses, karena proses harus disempurnakan agar hasil dapat meningkat. Kegagalan mencapai hasil yang direncanakan merupakan cermin dari kegagalan proses. Manajemen harus menemukenali dan memperbaiki kesalahan pada proses tersebut.
      Elemen yang paling penting dalam menerapkan kaizen adalah komitmen dan keterlibatan penuh dari manajemen puncak. Strategi kaizen harus didemonstrasikan secara terbuka, konsisten, dan langsung guna menjamin keberhasilan proses kaizen.
1.2.3. Siklus PDCA dan SDCA
      Langkah pertama dari kaizen adalah menerapkan siklus PDCA (plan-do-check-act) sebagai sarana yang menjamin terlaksananya kesinambungan dari kaizen guna mewujudkan kebijakan untuk memelihara dan memperbaiki/meningkatkan standar.
      Rencana (plan) berkaitan dengan penetapan target untuk perbaikan dan perumusan rencana tindakan guna mencapai target tersebut. Lakukan (do) berkaitan dengan penerapan dari rencana tersebut. Periksa (check) merujuk pada penetapan apakah penerapan tersebut berada pada jalur yang benar sesuai rencana dan memantau kemajuan perbaikan yang direncanakan. Tindak (act) berkaitan dengan standarisasi prosedur baru guna menghindari terjadinya kembali masalah yang sama atau menetapkan sasaran baru bagi perbaikan berikutnya. Siklus PDCA berputar secara berkesinambungan, segera setelah suatu perbaikan dicapai, keadaan perbaikan tersebut dapat memberikan inspirasi untuk perbaikan selanjutnya.
      Pada awalnya, setiap proses kerja baru belum cukup stabil. Sebelum kita mengerjakan siklus PDCA berikutnya, proses tersebut harus distabilkan melalui siklus SDCA (standardize-do-check-act).
1.2.4. Mengutamakan Kualitas
      Tujuan utama dari kualitas, biaya, dan penyerahan (QCD) adalah menempatkan kualitas pada prioritas tertinggi. Tidak jadi soal bagaimana menariknya harga dan penyerahan yang ditawarkan kepada konsumen, perusahaan tidak akan mampu bersaing jika mutu produk dan pelayanannya tidak memadai.
      Praktek mengutamakan kualitas membutuhkan komitmen manajemen karena manajer seringkali berhadapan dengan berbagai godaan untuk membuat kompromi berkenaan dengan persyaratan penyerahan atau pemotongan biaya.
1.2.5. Berbicara dengan Data
      Kaizen adalah proses pemecahan masalah. Agar suatu masalah dapat dipahami secara benar dan dipecahkan, masalah itu harus ditemukenali untuk kemudian data yang relevan dikumpulkan serta ditelaah. Mengumpulkan data tentang keadaan saat ini membantu untuk memahami ke arah mana fokus harus diarahkan. Hal ini menjadi langkah awal dalam upaya perbaikan.
1.2.6. Proses Berikut adalah Konsumen
      Kebanyakan orang dalam bekerja selalu berhubungan dengan konsumen internal. Kenyataan ini hendaknya dipakai sebagai dasar komitmen untuk tak pernah meneruskan produk cacat ataupun butir informasi yang salah kepada proses berikutnya. Bila semua orang di dalam perusahaan mempraktekkan aksioma ini, konsumen yang sesungguhnya – konsumen eksternal di pasar – dapat dipastikan akan menerima produk atau jasa layanan bermutu tinggi sebagai akibatnya.
1.3. Pilar-Pilar Kaizen
         Dalam menerapkan kaizen di tempat kerja, semua orang di dalam perusahaan harus bekerja sama dalam mematuhi tiga pilar utama, yaitu: (1) Pemeliharaan tempat kerja, (2) Penghapusan pemborosan, dan (3) Standardisasi.
1.3.1. Pemeliharaan Tempat Kerja (5R)
      Lima langkah pemeliharaan tempat kerja dalam bahasa Jepang disebut sebagai 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke). Dalam bahasa Indonesia lima langkah pemeliharaan tempat kerja ini disebut sebagai 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin). 5R yang merupakan lima langkah penataan dan pemeliharaan tempat kerja dikembangkan melalui upaya intensif dalam bidang manufaktur. Perusahaan jasa layanan dapat melihat adanya konteks yang paralel dalam rangkaian proses “jalur produksi” mereka yang dapat berbentuk prosedur pemintaan proposal, penutupan laporan keuangan, aplikasi polis asuransi, atau pemintaan jasa hukum dari klien.
      Uraian rinci lima langkah 5R adalah sebagai berikut:
1.      Ringkas (Seiri)
Langkah pertama pemeliharaan tempat kerja adalah ringkas, berkaitan dengan kegiatan melakukan klasifikasi barang yang terdapat di tempat kerja – diperlukan atau tidak diperlukan – dan menyingkirkan yang tak diperlukan dari tempat kerja.
2.      Rapi (Seiton)
Setelah ringkas diterapkan, semua barang yang tak diperlukan telah disingkirkan dari tempat kerja. Yang tersisa tinggallah sejumlah minimum barang yang diperlukan. Namun barang-barang yang diperlukan ini, seperti alat kerja dan sebagainya, tak dapat digunakan sebagaimana mestinya jika terletak jauh dari tempat kerja atau bahkan di tempat yang sulit dicari. Hal ini membawa kita kepada langkah berikut dari 5R, yaitu rapi. Rapi berarti mengelompokkan barang berdasarkan penggunaannya dan menatanya secara memadai agar upaya dan waktu untuk mencari atau menemukan menjadi minimum. Untuk menerapkan hal ini, semua barang harus memiliki alamat tertentu, nama tertentu, dan volume tertentu pula. Tak hanya lokasinya saja, jumlah maksimum barang yang diperbolehkan berada di tempat kerja harus pula ditetapkan.
3.      Resik (Seiso)
Resik berarti membersihkan tempat kerja, termasuk didalamnya mesin dan alat kerja, lantai tempat kerja, dan berbagai daerah di dalam tempat kerja. Ada sebuah aksioma yang patut dianut: membersihkan berarti memeriksa. Operator yang membersihkan mesin dapat menemukan berbagai fungsi yang gagal.
4.      Rawat (Seiketsu)
Rawat berarti tertib pribadi, seperti mengenakan pakaian yang pantas dan bersih, kacamata pengaman, sarung tangan dan sepatu, dan selalu menjaga keadaan lingkungan kerja yang bersih dan sehat. Pengertian lain dari rawat adalah mempertahankan keadaan yang sudah ringkas, rapi, dan resik setiap hari secara terus-menerus.
5.      Rajin (Shitsuke)
Rajin berarti disiplin pribadi. Orang yang mempraktekkan ringkas, rapi, resik, dan rawat secara terus-menerus dan menjadikan kegiatan ini sebagai kebiasaan dalam kehidupan sehari-harinya dapat menyebut dirinya memiliki disiplin pribadi.
      5R dapat disebut sebagai falsafah jalan kehidupan dalam kehidupan kerja kita. Intisari dari 5R adalah mematuhi apa yang telah disepakati bersama. Dimulai dengan menyingkirkan apa yang tak dibutuhkan dari tempat kerja (ringkas) dan menata kembali semua barang yang dibutuhkan di tempat kerja dengan tertib (rapi). Kemudian, lingkungan yang bersih diciptakan (resik) dan dipelihara sehingga ketidakwajaran dapat mudah ditemukenali (rawat). Karyawan harus mengikuti aturan yang disepakati dan ditetapkan pada tiap langkah tersebut dan pada saat mereka mencapai langkah rajin, mereka telah cukup terbekali dengan disiplin pribadi untuk mengikuti dan mematuhi berbagai aturan lain dalam pekerjaan mereka. Pada langkah terakhir ini, manajemen telah menetapkan berbagai standar yang berlaku pada langkah-langkah 5R sebelumnya serta memastikan bahwa karyawan mematuhi dan mengikuti standar tersebut.
1.3.2. Penghapusan Pemborosan
      Segala macam kegiatan yang tidak memberikan nilai tambah adalah pemborosan. Orang-orang di tempat kerja hanya memiliki dua kemungkinan: apakah ia memberikan nilai tambah atau tidak menghasilkan nilai tambah, yang berarti pemborosan. Hal ini juga berlaku bagi sumber daya perusahaan lainnya, seperti mesin dan material.
      Taiichi Ohno, seperti ditulis Imai (1999: 71), mengelompokkan pemborosan dalam tujuh jenis, yaitu: (1) Pemborosan produksi berlebih, (2) Pemborosan persediaan, (3) Pemborosan pengerjaan ulang karena gagal/cacat, (4) Pemborosan gerak kerja, (5) Pemborosan pemrosesan, (6) Pemborosan waktu tunggu/penundaan, (7) Pemborosan transportasi. Jenis lain dari pemborosan yang dapat dilihat setiap hari adalah pemborosan waktu. Meskipun kategori ini tidak dicantumkan dalam tujuh jenis pemborosan dari Ohno, pemanfaatan waktu yang buruk membawa kita pada stagnasi.
      Uraian rinci dari jenis-jenis pemborosan adalah sebagai berikut:
1.      Pemborosan pada produksi berlebih
Produksi berlebih merupakan dampak dari mentalitas supervisor yang selalu khawatir terhadap berbagai masalah yang dihadapi seperti gangguan mesin (gagal fungsi), cacat produksi, atau ketidakhadiran karyawan sehingga mereka memaksakan diri untuk berproduksi lebih banyak agar selalu berada di sisi yang aman. Pemborosan jenis ini merupakan akibat dari upaya mendahului jadwal produksi. Berproduksi lebih daripada yang dibutuhkan berdampak pada pemborosan yang sangat besar, seperti: konsumsi material sebelum dibutuhkan, input yang dihamburkan berupa tenaga kerja dan energi utilitas (air, angin, listrik dsb), penambahan mesin tanpa dasar yang jelas, peningkatan beban bunga modal, penambahan ruang guna penyimpanan persediaan, dan tambahan kegiatan transportasi maupun biaya administrasi.
2.      Pemborosan pada persediaan
Produk jadi, barang setengah jadi, atau komponen dan pasokan barang terkonsumsi yang berstatus persediaan tidak memberikan nilai tambah. Sebaliknya, semua itu menambah pos biaya operasi dengan bertambahnya kebutuhan tempat, peralatan, dan fasilitas. Tingkat mutunya justru menurun dengan bertambahnya waktu. Kegiatan kaizen menjadi keharusan yang wajib dilakukan jika tingkat persediaan menurun sampai titik terendah, yaitu “aliran produksi satu unit”. Tingkat persediaan yang rendah memberikan petunjuk penting dan terfokus bagi kita dalam merumuskan masalah yang harus ditangani.
3.      Pemborosan pada pengerjaan ulang karena gagal/cacat
Hasil produksi yang cacat mengganggu produksi dan membutuhkan pengerjaan ulang yang mahal. Seringkali produk tolakan harus dimusnahkan, suatu pemborosan sumber daya maupun upaya yang telah ditanamkan. Pada lingkungan produksi massal modern, suatu gangguan pada mesin otomatis berkecepatan tinggi dapat berakibat pada produk gagal dan cacat dalam jumlah sangat besar sebelum masalahnya dapat diisolasi. Mesin seperti itu seharusnya dilengkapi dengan mekanisme yang dapat menghentikan diri sendiri jika terjadi cacat produksi. Di sisi lain masalah banyaknya perubahan rancangan produk secara lebih jelas mengakibatkan banyaknya pengerjaan ulang. Jika perancang produk mengerjakan rancangannya secara benar dari awalnya, maka mereka dapat menghapuskan pemborosan dalam hal pembuatan rancangan produk. 
4.      Pemborosan pada gerak kerja
Gerak kerja dari seseorang yang tidak berkaitan langsung dengan nilai tambah adalah tidak produktif. Secara spesifik, semua gerak kerja yang membutuhkan usaha fisik berlebih dari pihak operator harus dihindari karena pemborosan gerak kerja. Dalam mengenali pemborosan gerak kerja, kita harus mengamati pada cara operator menggunakan tangan dan kakinya. Dari pengamatan itu, kemudian dapat dipikirkan penataan dari komponen serta dikembangkan peralatan dan jig yang tepat guna.
5.      Pemborosan pada pemrosesan
Pemborosan pada pemrosesan terjadi karena penggunaan teknologi yang kurang tepat atau rancangan produk yang kurang baik. Pada umumnya, pemborosan pada pemrosesan diakibatkan karena kegagalan melakukan sinkronisasi proses. Operator seringkali melakukan pekerjaannya pada bidang tertentu lebih teliti dari yang diisyaratkan. Oleh karena itu, penghapusan pemborosan pada pemrosesan sering dapat dicapai dengan pemikiran akal sehat dan berbiaya rendah, yaitu dengan menggabungkan tugas operasi.
6.      Pemborosan waktu tunggu/penundaan
Pemborosan waktu tunggu terjadi bila tangan operator kedapatan menganggur atau saat operator menunda kerja sebagai teknik mengatasi berbagai keadaan, seperti jalur kerja yang tidak seimbang, komponen yang belum tersedia, atau gangguan mesin. Jenis pemborosan ini mudah dikenali. Kita dapat pula mengamati operator jaga yang hanya berfungsi mengamati mesin yang sedang bekerja menghasilkan nilai tambah, ini juga termasuk dalam pemborosan waktu tunggu. Hal ini lebih sulit dikenali sebagai pemborosan waktu tunggu, karena seolah wajar saja terjadi di saat mesin memproses benda kerja. Operator yang menunggu benda kerja berikut tiba atau menunggu mesin menyelesaikan langkah kerjanya, pada saat ini operator hanya mengawasi mesin saja tanpa memberikan nilai tambah.
7.      Pemborosan pada transportasi
Di tempat kerja, orang dapat menemukan berbagai sarana transportasi seperti truk, kereta, forklift, dan konveyor. Transpor adalah kegiatan penting dalam operasi di tempat kerja, tetapi sesungguhnya memindahkan material maupun benda kerja sama sekali tidak menciptakan nilai tambah pada barang tersebut. Lebih buruk lagi, kerusakan bahkan dapat terjadi dalam transpor. Dua proses yang saling terpisah membutuhkan transportasi. Guna menghapuskan pemborosan ini, proses-proses yang saling terpisah harus dipadukan ke dalam jalur rakit utama selama hal itu dimungkinkan.
8.      Pemborosan waktu
Pemanfaatan waktu yang buruk membawa kita pada stagnasi. Di pabrik, pemborosan ini tampak pada persediaan. Sedangkan di kantor, pemborosan ini tampak jelas bila dokumen tinggal diam di meja atau di dalam media komputer menunggu keputusan atau tanda tangan. Jika terjadi stagnasi, maka pemborosan lainnya akan mengikuti. Dengan pola yang sama, tujuh pemborosan sebelumnya itu juga akan berdampak pada pemborosan waktu.
      Penghapusan pemborosan dapat menjadi cara yang paling hemat-efektif (cost-effective) dalam meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya operasi. Kaizen lebih menekankan penghapusan pemborosan daripada menambah investasi yang diharapkan akan memberi nilai tambah.
1.3.3. Standardisasi
      Menurut kaizen, kemajuan yang diraih bukanlah hasil satu lompatan besar ke depan, tetapi diraih karena perubahan kecil tanpa henti dalam beratus-ratus dan bahkan beribu-ribu detail yang berhubungan dengan menghasilkan produk atau pelayanan. Asumsi yang mendasari perubahan dalam kaizen adalah bahwa kesempurnaan itu sebenarnya tidak ada. Artinya tidak ada kemajuan, produk, hubungan, sistem, atau struktur yang bisa memenuhi ideal. Dengan demikian, selalu saja ada ruang untuk peningkatan dengan cara mempertahankan aktifitas yang memberi nilai tambah dan mengeliminasi aktivitas yang tidak memberi nilai tambah.
      Secara lebih sederhana, dapat dikatakan bahwa tidak ada produk yang sempurna, yang sempurna tidak pernah bisa diwujudkan. Kaizen selalu berusaha meningkatkan apa yang pernah dicapainya, dan pasti selalu ada hari lain atau orang lain yang menemukan ruang untuk mengadakan peningkatan. Hasil dari kaizen disebut dengan “kuota” atau “standar” dan bukan sebagai “target”. Target mutu atau kepuasan pelanggan merupakan hal yang ditabukan dalam kaizen. Prestasi standar adalah istilah yang lebih disukai, tetapi suatu standar secara keseluruhan harus bersifat sementara. Standar hanya boleh dipertahankan sampai ada karyawan atau tim lain yang dapat mengerjakannya dengan lebih baik. Tidak ada standar yang berlaku selamanya, dan setiap standar dapat diperbaiki.
      Dengan berfokus pada pandangan bahwa setiap aspek dari siklus produksi selalu terbuka untuk diperiksa dan ditingkatkan, dan dengan selalu melihat mutu sebagai tujuan utama, maka keahlian dan kemampuan sektor manufaktur perusahaan akan mengalami pertumbuhan yang menakjubkan dan akan membawa perusahaan menduduki garis terdepan dalam perdagangan global.
      Kegiatan bisnis sehari-hari berfungsi mengikuti formula yang telah disepakati bersama. Formula-formula ini, bila ditulis secara eksplisit, menjadi standar. Standar dapat dirumuskan sebagai cara terbaik dalam melaksanakan suatu tugas. Manajemen yang sukses dalam kegiatan sehari-hari menganut pandangan terhadap tugasnya sebagai: menjaga dan meningkatkan standar. Hal ini tidak hanya berarti sekedar mematuhi teknologi, manajerial, maupun standar operasional yang berlaku, tetapi juga memperbaiki proses yang ada dalam rangka membawa standar yang ada menuju ke tingkat standar yang lebih tinggi.            
      Standar memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut:
1.      Merupakan cara yang terbaik, termudah, dan paling aman dalam melaksanakan suatu tugas. Standar merupakan kebijaksanaan dan pengetahuan yang terkumpul selama bertahun-tahun dari penguasaan karyawan dalam mengerjakan tugasnya. Standar itu akan menjadi cara yang terbaik, paling efisien, efektif, dan aman dalam melaksanakan tugas.
2.      Memberikan cara terbaik dalam melestarikan pengetahuan dan penguasaan kemampuan. Melalui standar dan melembagakan pengetahuan yang dimiliki seorang karyawan yang mengetahui cara terbaik melaksanakan tugas, maka pengetahuan tersebut dapat dilestarikan, tanpa harus tergantung pada masuk dan keluarnya karyawan.
3.      Sebagai cara untuk mengukur kinerja. Dengan standar yang resmi, manajer dapat mengukur kinerja penugasan. Tanpa standar, tidak ada cara yang cukup adil (fair) dalam mengukur kinerja.
4.      Menunjukkan kaitan antara sebab dan akibat. Tanpa standar ataupun tidak memenuhi standar dapat membawa proses kepada ketidakwajaran, variabilitas, dan pemborosan.
5.      Menjadi dasar untuk memelihara dan memperbaiki proses. Menurut definisi, mematuhi standar berarti melaksanakan fungsi memelihara, sedang mengubahnya menjadi lebih baik adalah fungsi perbaikan. Tanpa standar, kita tidak memiliki cara untuk mengetahui apakah kita telah melakukan perbaikan atau belum.
6.      Memberikan arah sasaran tugas dan petunjuk sasaran latihan. Standar dapat disebut sebagai sekumpulan simbol visual yang menunjukkan cara mengerjakan tugas. Oleh karena itu, standar harus dapat menyalurkan komunikasi secara sederhana dan mudah dipahami.
7.      Merupakan dasar untuk pelatihan. Setelah standar ditetapkan, langkah berikutnya adalah melatih operator sampai tingkat di mana operator dapat melakukan tugasnya sesuai standar secara alamiah.
8.      Dasar untuk audit dan diagnosis. Di tempat kerja, standar kerja umumnya diperagakan, memperlihatkan langkah-langkah penting, dan butir periksa (check points) dari pekerjaan operator. Standar ini tentu saja berfungsi untuk mengingatkan operator. Tetapi lebih penting lagi, standar membantu manajer dalam memantau apakah pekerjaan tersebut berjalan secara normal.
9.      Standar sebagai sarana untuk mencegah pengulangan kesalahan dan memperkecil variabilitas. Jika kita telah melakukan standardisasi, manfaat dari kaizen dapat dirasakan dengan hilangnya kesalahan yang tak muncul kembali. Pengendalian mutu adalah pengendalian terhadap variabilitas. Tugas manajemen adalah mengenali, merumuskan, dan menetapkan butir kendali (control point) pada setiap proses dan memastikan bahwa butir kendali tersebut dipatuhi setiap saat.
1.4. Quality, Cost, Delivery (QCD)
         Dalam konteks kaizen, mutu, biaya, dan penyerahan (quality, cost, delivery-QCD) merupakan aspek bisnis yang paling penting dan saling terkait erat untuk diperbaiki. Sia-sialah jika kita membeli barang atau jasa layanan yang tidak memiliki mutu, meskipun murah sekali. Sebaliknya, sia-sia pula menawarkan produk atau jasa layanan yang bermutu baik dan berharga menawan, tetapi tak dapat diserahkan memenuhi permintaan konsumen pada saatnya dan dalam jumlah yang dibutuhkannya.

Sumber Refernsi :
 Barnes, Tony. 1998. Kaizen Strategies for Succesful Leadership. Diterjemahkan oleh Martin Widjokongko. Batam: Interaksara.

Imai, Masaaki. 1996. Kaizen: The Key to Japan’s Competitive Success. Diterjemahkan oleh Mariani Gandamihardja. Cetakan keempat. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.

______. 1999. Gemba Kaizen : a Commonsense, Low-Cost Approach to Management. Diterjemahkan oleh Kristianto Jahja. Cetakan kedua. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.

Moritani, Masanori. 1986. Japanese Technology: Getting The Best for The Least. Diterjemahkan oleh H.J. Koesoemanto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Osada, Takashi. 1996. The 5S’s: Five Keys to a Total Quality Environment. Diterjemahkan oleh Mariani Gandamihardja. Cetakan Kedua. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.

Wellington, Patricia. 1998. Kaizen Strategies for Customer Care. Diterjemahkan oleh Alexander Sindoro. Batam: Interaksara.